Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menegaskan pentingnya peran embung dan bendungan untuk mengatasi ancaman kekeringan dan krisis air sebagai dampak dari perubahan iklim dan cuaca ekstrem.
Juru Bicara Kementerian PUPR, Endra S. Atmawidjaja menegaskan, perubahan iklim hari ini sudah sangat nyata. Begitu juga dampak dan tantangan dari perubahan iklim seperti fenomena El Nino yang saat ini sedang melanda Indonesia dan negara-negara di dunia.
Demikian dikatakan Endra dalam diskusi bertajuk “Kolaborasi Global Antisipasi Krisis Air Dampak Perubahan Iklim” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Jakarta, Senin (16/10).
Dalam diskusi yang menjadi pengantar penyelenggaraan event World Water Forum (WWF) ke 10 di Bali, Indonesia pada 2024 mendatang ini, Endra menegaskan bahwa perubahan iklim bukan lagi wacana perdebatan. Tapi sangat riil dan dampaknya sudah dapat dirasakan oleh semua orang.
“Saat El Nino, kekeringan panjang sehingga menyebabkan krisis air. Di sini kita lihat peran penting bendungan dan embung untuk mengatasi krisis akibat perubahan iklim ini,” ujar Endra yang juga sebagai Wakil Ketua Sekretariat Panitia Nasional WWF ke-10.
Lebih jauh dia menyampaikan, dalam menghadapi ancaman kekeringan dan krisis air ini pemerintah telah mencanangkan pembangunan 61 bendungan baru sejak 2019.
Pembangunan bendungan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tampungan air, sehingga dapat mencegah terjadinya banjir dan kekeringan. Selain bendungan, pemerintah juga telah membangun embung, sumur bor, dan jaringan irigasi.
“Mitigasi yang kita lakukan adalah menjamin supaya sepanjang tahun tersedia air dalam jumlah yang cukup dan kondisi yang baik. Infrastruktur-infrastruktur ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dan irigasi pertanian,” ucapnya.
Selain membangun embung, bendungan, dan saluran irigasi, pemerintah juga mengoptimalkan penampungan-penampungan air alami seperti danau dan situ.
“Tampungan-tampungan alamiah seperti danau, situ, yang selama ini banyak kerusakan, sedimetasi, bahkan hilang, seperti di Jabodetabek, kita pelihara agar dapat turut menampung air-air yang akan kita butuhkan,” ujarnya.
Endra melanjutkan, hingga saat ini pemerintah sudah menyelesaikan pembangunan 32 embung dan bendungan. Masih ada pengerjaan sebanyak 25 bendungan yang akan diselesaikan secara bertahap, rinciannya sebanyak 10 bendungan pada 2023 dan 15 bendungan pada 2024.
Dengan program pembangunan yang sudah dan sedang dikerjakan, pihaknya memproyeksikan sekitar 300 bendungan beroperasi di Indonesia pada 2024, meningkat dari sekitar 230-an bendungan pada 2014.
Namun demikian, dia menegaskan bahwa jumlah ini masih jauh dari kata cukup untuk memenuhi ketersediaan air bagi seluruh penduduk Indonesia. Terlebih apabila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Sebagai gambaran, lanjutnya, akses penduduk Indonesia kepada air minum baru 90% pada 2024, kurang 10% dari target pencapaian 100% pada 2030.
Di bidang sanitasi, akses penduduk masih 80%, sehingga masih ada pekerjaan rumah sebanyak 20% untuk pemenuhan sanitasi yang layak kepada seluruh penduduk Indonesia.
“Sebagai contoh, Korea Selatan yang luasnya hanya seluas Provinsi Jawa Tengah, memiliki 3.000 bendungan. Di China ada 98.000 bendungan. Kita membangun terlihat banyak, tapi sebetulnya masih jauh dari cukup. Ke depannya memang harus ditambah tampungan-tampungan air ini,” katanya.
Artikel ini telah tayang di halaman gatra.com dengan judul “Bangun Embung dan Bendungan Atasi Krisis Air”. Baca selengkapnya: https://www.gatra.com/news-582741-lingkungan-bangun–embung-dan-bendungan-atasi-krisis-air.html
Sumber : https://www.gatra.com/news-582741-lingkungan-bangun–embung-dan-bendungan-atasi-krisis-air.html