Tidak banyak yang tahu jika jamban sehat yang diterapkan secara nasional di Indonesia saat ini merupakan jamban rancangan Subianadi, sanitarian Puskesmas Sumobito.
Ide jamban sehat ini bermula dari banyaknya masyarakat yang belum mampu membangun jamban. Selain itu, banyak pencemaran lingkungan air dan tanah akibat sanitasi yang buruk.
RICKY VAN ZUMA, Jombang
”SANITASI yang belum tertata dengan baik menyebabkan tingginya penyebaran penyakit menular seperti diare,” ujar Subianadi kemarin (12/8). Warga Desa Bakalan, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang ini menuturkan jika kebanyakan masyarakat di desa tidak memiliki jamban lantaran bahan bangunan dan ongkos tukang yang mahal. Sehingga mereka belum mampu membuat jamban sehat di rumahnya sendiri.
Selain jamban cemplung, masyarakat akhirnya lebih banyak memilih buang air besar di sungai. ”Tak hanya itu, keterbatasan lahan juga jadi alasan mereka belum memiliki jamban sendiri,” beber pria 55 tahun ini. Ia pun membutuhkan waktu dua tahun lamanya untuk menjawab berbagai persoalan sanitasi yang dianggap mahal sebagian besar masyarakat.
Mulai tahun 2008 hingga 2010 ia memperkenalkan konsep jamban murah dan ramah lingkungan. ”Memang butuh biaya dan waktu untuk penelitian jamban sehat ini.
Alhamdulillah konsep jamban sehat dan murah yang saya rancang pun dapat diterima dan dikembangkan di Kecamatan Sumobito,” ungkapnya. Setahun kemudian, jamban sehat ini dikembangkan di tingkat Kabupaten Jombang.
Ia pun tak segan menunjukkan konsep jamban sehat dan murah ini kepada Jawa Pos Radar Jombang. Ia menegaskan jamban yang sehat tidak boleh bocor.
Sehingga inovasi jamban yang dilakukannya menggunakan cor tanpa sambungan untuk septictank. ”Saya terinspirasi pada tubuh manusia. Makanan yang masuk dapat hancur mulai mulut sampai dibuang melalui anus,” ungkapnya.
Bapak dua anak ini menuturkan terdapat dua bakteri dalam tubuh manusia, yaitu bakteri an aerob dan bakteri aerob. Kedua bakteri ini berdampingan namun sifatnya berlawanan.
”Septictank ada dua, kotoran yang dibuang masuk ke septictank pertama yang berisi bakteri an aerob. Sehingga tidak boleh ada udara dan cahaya supaya bisa menghancurkan tinja,” jelasnya. Septictank kedua, berisi bakteri aerob sehingga harus diberi paralon untuk udara supaya bakteri aerob dapat hidup.
Septictank pertama disambungkan ke septictank kedua menggunakan paralon sebagai penampung tinja. Septictank kedua disambungkan dengan septictank ketiga yang berfungsi sebagai resapan.
Sehingga resapan pada septictank ketiga ini sudah tidak mengandung bakteri lagi, sebab hanya cairan yang dikeluarkan dan tidak mencemari tanah maupun air tanah.
”Tidak pakai bis-bisan, untuk membuat jamban sehat ini cukup pakai cetakan cor khusus. Beberapa kecamatan di Jombang sudah punya, orang awam membaca konsep jamban ini pun pasti bisa,” cetusnya.
Bahkan wilayah perkotaan yang lahannya sempit dapat mengembangkan jamban ini. Meski rumahnya telah dikeramik, jamban tetap dapat dibangun dan tidak akan mencemari lingkungan. Terdapat empat jenis jamban dengan biaya bersih mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 1.350 ribu.
”Tahun 2012 jamban sehat ini dikembangkan nasional di seluruh Indonesia,” sambungnya. Bahkan Menteri Kesehatan hingga Presiden RI saat itu pun mengapresiasi karya dari Subianadi. Selain murah, konsep jamban tersebut sudah teruji ramah lingkungan.
Tak sedikit kabupaten/kota di Indonesia yang menerapkan konsep jamban sehat Subianadi ini meraih penghargaan wilayah ODF (Open Defecation Free) atau bebas buang air besar sembarangan.
Konsep jamban sehat ini juga diakui organisasi kesehatan dunia atau WHO untuk dikembangkan di Asia Pasifik. Meski hanya lulusan SMA jurusan IPS, Subianadi tak pernah berhenti belajar.
Berbagai pengalaman dan ketulusannya dalam menjalani profesinya sebagai sanitarian pun membuahkan hasil yang manis. ”Saya dulu ngontel beberapa tahun dan naik angkot untuk berangkat ke puskesmas.
Bahkan saya juga nekat hutang puluhan juta untuk mengembangkan konsep jamban ini. Saya bersyukur keluarga mendukung apa yang saya lakukan,” imbuhnya. Padahal sebagai petugas kesehatan, gaji yang diterimanya tidak sampai Rp 2 juta. Namun berkat kerja kerasnya ia berhasil melunasi hutang-hutangnya untuk penelitian jamban yang dilakukan sebelumnya.
Kini kakek satu cucu ini pun sudah wira-wiri sebagai pembicara tingkat nasional dari Aceh hingga Papua tentang sanitasi. Konsep jamban sehat yang dicetuskannya sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia.
Meski demikian ia tetap ramah dan rendah hati kepada siapa saja yang ingin belajar kepadanya tentang sanitasi. ”Saya ambil hikmahnya.
Hidup hanya sekali dan saya bersyukur bisa berguna berbagi ilmu tentang sanitasi dan konsep jamban sehat murah ini,” lontarnya. Banyak sanitarian dari daerah lain yang juga sukses dengan mengembangkan konsep jamban buatan Subianadi.
Kabupaten lain di Jawa Timur sudah ada beberapa yang ditetapkan ODF dengan menerapkan konsep jamban ini, meski di Kabupaten Jombang sendiri masih belum.
Bahkan Kecamatan Sumobito sebagai tempat lahirnya, jamban sehat ini masih belum ODF dan malah tersalip dengan Kecamatan Perak dan Kecamatan Jombang yang lebih dulu ODF.
”Permasalahannya itu pada jumlah keluarga miskin yang ditangani di Jombang cukup banyak, mereka benar-benar miskin sehingga tidak bisa membangun jamban. Ada program menabung jamban sehari seribu rupiah, tapi mereka memang tidak mampu,” pungkasnya.
Sumber : https://radarjombang.jawapos.com/nasional/14/08/2017/konsep-jamban-sehat-buatan-subianadi-sanitarian-puskesmas-sumobito/