Meningkatnya angka kesakitan dan kematian pada situasi bencana tidak hanya disebabkan oleh dampak langsung bencana tetapi juga penyertanya seperti menurunnya kualitas lingkungan, perubahan kesehatan lingkungan dan keterbatasan akses air bersih. Kepadatan populasi di pengungsian juga semakin memicu meningkatnya penyebaran penyakit menular yang dapat berpotensi wabah setelah bencana; diantaranya peningkatan kasus diare, leptospirosis, DBD, dan penyakit kulit. Artikel ini membahas bagaimana dampak program Water Sanitation and Hygiene (WASH) dalam pengendalian penyakit menular saat bencana. Dalam artikel, terdapat delapan program WASH yang di – review saat bencana yaitu meliputi perbaikan akses air bersih, pengolahan sumber airm pengolahan air rumah tangga, promosi pola hidup bersih sehat (PHBS), distribusi hygiene kit, kebersihan lingkungan, pemasangan fasilitas sanitasi dan distribusi alternatif jamban.
Pengaturan ketersediaan air bersih dan hygiene ini juga sudah diatur dalam peraturan BNPB RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang penggunaan dana siap pakai. Dana siap pakai bisa digunakan saat tanggap darurat untuk kebutuhan air bersih, sanitasi dan hygiene. Penyediaan air bersih mencakup pembelian dan distribusi air bersih, pembelian air minum kemasan, pengadaan hidran umum, sumur bor, dan pengawasan kualitas air bersih. Pengadaan sarana sanitasi dan hygiene mencakup pengadaan jamban/mandi cuci kakus, tempat pembuangan sampah, pembuatan saluran air limbah di tempat pengungsian, sewa kendaraan angkutan dan bahan bakar. Monitoring dan surveilans terhadap ketersediaan air bersih, sanitasi dan hygiene (WASH) bagi masyarakat terdampak penting untuk diperhatikan untuk menghindari bencana sekunder.
Sumber : https://bencana-kesehatan.net/index.php/arsip-pengantar/3702-wash-in-emergency