lokasinya yang berada di cincin api menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan bencana. Menjelang akhir tahun lalu, dua bencana gempa dan tsunami melanda beberapa wilayahnya, di anaranya Palu, Sulawesi Tengah; Anyer, Banten; dan Lampung.
Salah satu masalah yang pasling sering ditemui dalam kondisi bencana adalah kesehatan korban. Bukan hanya pada saat kejadian, tapi juga ketika mereka berada di pengungsian.
Ketua Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia Dr. Adib Khumaidi, SpOT mengatakan, selama di pengungsian masyarakat rawan akan beberapa penyakit, terutama gastrointestinal atau pendarahan pada lambung dan usus, infeksi saluran pencernaan, dan penyakit saluran pernapasan.
Adib mengatakan, penyakit ini disebabkan oleh sanitasi yang tidak higienis dan air bersih yang tidak memadai. Sanitasi meliputi mandi cuci kakus (MCK), pembuangan air, tempat sampah, dan sebagainya. Kondisi yang tidak hiegienis membuat pengungsi mudah terkena kuman penyebab penyakit, lalu menularkan ke yang lain.
“Karena berada di kondisi yang padat, pengungsi bertumpuk dalam satu lokasi. Jadi jika ada satu yang terkena penyakit akan mudah menularkan ke yang lain,” kata dia di sela-sela acara kongkow Milenial Lembaga Kesehatan Cuma-cuma (LKC) Dompet Dhuafa Jawa Barat. Acara bertema “Health, Professional, and Humanitarian Ethics Trend in Mass Casualty Incident,” itu digelar di Jakarta, Senin, 27 Mei 2019.
Selain tiga penyakit itu, pengungsi juga rawan tertular penyakit lainnya seperti tipes, cacar, hingga campak. “Kuncinya adalah sanitasi dan air bersih,” kata dia.
Di luar masalah sanitasi dan air bersih, Adib mengatakan bahwa pengungsi juga membutuhkan makanan bergizi. Itu sebabnya, salah satu syarat tempat pengungsian yang layak adalah keberadaan dapur umum. untuk menyiapkan makanan secara higienies. “Jangan membiasakan memberi mi instan kepada masyarakat. Walaupun itu lebih cepat. Mereka juga butuh gizi, bukan asal kenyang,” ujar Adib.
SUMBER : TEMPO.CO