Dua pertiga permukaan bumi berupa perairan. Begitu juga negara ini mempunyai luas wilayah yang dua pertiganya merupakan lautan. Matahari sebagai pusat energi bagi bumi sehingga mentransformasikan lautan yang luas menjadi uap air. Uap mengapung ke udara di bawa anin ke daratan dimana di tempat yang lebih sejuk uap berubah menjadi butir butir curah hujan yang menyirami daratan bumi. Air hujan ini bersih dari zat kimia laut dan ditangkap oleh hutan penampung hujan. Hutan menyaring air dan meresapkannya kedalam tanah sehingga menjadi mata air yang tawar dan jernih layak diminum bagi manusia, hewan, tumbuhan dan semua makhluk ciptaan Illahi.
Akan tetapi kenyataan apa yang terjadi saat ini? Manusia dengan segala bentuk aktifitasnya begitu konyol untuk mengganggu siklus peredaran air tersebut? Hutan penangkap hujan ditebang kayunya untuk alasan (pertumbuhan) ekonomi dan di kawasan tebangan hutan ini ditanami tanaman komersial semisal karet, kopi, kelapa sawit maupun jenis tanaman pangan yang lain. Lebih parah lagi bekas kawasan hutan yang semestinya menjadi kawasan tangkapan air hujan berubah menjadi kawasan pemukiman, tempat rekreasi, gedung perkantoran maupun kawasan pertambangan. Disini terlihat jelas adanya perbenturan kepentingan dimana perhitungan manfaat jangka pendek lebih dominan dari perhitungan kepentingan jangka panjang.
Menjadi sangat lumrah apabila manusia kemudian menerima segala akibat dari terganggunya siklus hidrobiologi yang terjadi secara alami. Beragam bencana alam (water related disaster) maupun penyakit yang terkait dengan air (water born disease) pun menjadi sedemikian familiar dalam kehidupan kita di masa kini. Bencana banjir maupun tanah longsor datang silih berganti. Beragam penyakit pun timbul karena buruknya sanitasi dan rendahnya kualitas, kuantitas dan kontinuitas air layak konsumsi.