Tanggal 19 November adalah hari toilet sedunia. Sayangnya, isu toilet atau sanitasi tidak menjadi trending topik pada hari itu. Hanya segelintir orang yang membicarakannya, kebanyakan adalah mereka yang bekerja di bidang sanitasi.
Tampaknya tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah pelaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) kedua terbesar di dunia. Bagi sebagian orang, sanitasi masih merupakan urusan “belakang” yang kerap diabaikan.
Sampai saat ini, masalah sanitasi masih belum dipromosikan secara luas. Padahal, para pemimpin dunia yang tergabung dalam PBB menganggap akses sanitasi merupakan salah satu target yang harus dipenuhi tiap negara yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Per 2030, menurut milestone SDGs, setiap negara diharapkan telah mampu mewujudkan 100 persen akses sanitasi bagi warganya.
Indonesia meletakkan target pencapaian SDGs itu lebih awal, yaitu akhir tahun 2019, sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 2015 -2019, yang dikenal dengan universal access.
Oleh karena itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga diharapkan akan mampu menyediakan akses sanitasi bagi seluruh warga NTT pada tahun 2019. Indikator utamanya adalah tidak ada lagi warga yang masih melakukan kebiasaan BABS.
Menurut hasil Sensus 2016, NTT berada pada urutan kedua terendah se-Indonesia untuk akses sanitasi layak.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sampai bulan November 2017, masih ada 188 ribu rumah tangga di NTT yang belum memiliki jamban. Yang lebih disayangkan, kurangnya perhatian akan masalah sanitasi ini juga terjadi di sekolah.
Akses Jamban yang Layak
Data pokok pendidikan menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2016/2017, hanya 5,25 persen SD di NTT yang memiliki jamban yang layak, terpisah untuk siswa siswi, dan dalam kondisi baik.
Angkanya sedikit meningkat untuk SMP yaitu 8,1 persen, 11,1 persen untuk SMA, 12,7 persen untuk SMK dan 14,7 persen untuk SLB. Artinya, ada sekitar 98 ribu murid di NTT yang tidak memiliki akses untuk jamban yang layak dan terpisah.
Permendiknas No 24 tahun 2007 sebenarnya sudah mengatur rasio jamban ideal di sekolah, yaitu 1 WC per 25 siswa dan 1 WC per 40 siswi. Kenyataannya, di NTT rasionya masih 1 WC per 87 siswa dan 1 WC per 80 siswi.
Menurut UNICEF, akses sanitasi yang layak di sekolah merupakan hal yang penting karena kesehatan lingkungan sekolah, terutama tersedianya sanitasi sekolah yang memadai, berhubungan erat dengan peningkatan status kesehatan siswa, kemajuan prestasi pendidikan siswa, mendorong kesetaraan gender, dan menempatkan siswa sebagai agen perubahan.
Hasil studi UNESCO menunjukkan bahwa secara global, 1 dari 5 remaja perempuan putus sekolah dan fasilitas sanitasi yang tidak layak di sekolah menjadi salah satu penyebabnya. Siswa perempuan yang sedang haid merasa lebih nyaman tinggal di rumah dari pada masuk sekolah tanpa fasilitas menstruasi yang memadai.
Murid SD sampai SMA merupakan 27,3 persen dari total penduduk NTT. Bayangkan, generasi penerus bangsa yang akan menjadi agent of change ini tidak memperoleh akses sanitasi yang layak di sekolah sehingga tidak bisa mengembangkan diri secara maksimal di sekolah.
Pertanyaan yang mungkin timbul, jika kondisi toilet di sekolah tidak diperhatikan dan siswa terpaksa harus beradaptasi dengan situasi yang ada, apakah mereka akan memperhatikan masalah sanitasi saat mereka menjadi pejabat nanti?
Pendeknya, kita akan terus berada dalam lingkaran ketidakpedulian akan sanitasi dan Indonesia akan terus menjadi negara penyumbang perilaku BABS kedua terbanyak di dunia. Sementara NTT mungkin juga akan terus berada pada peringkat kedua terendah akses sanitasi layak.
Perubahan Perilaku
Sanitasi sekolah harus menjadi urusan semua pihak, dan bukan semata-mata tanggung jawab dari pemerintah melalui sekolah atau dinas pendidikan dan dinas kesehatan. Peningkatan akses sanitasi sekolah perlu diupayakan secara menyeluruh dengan tidak hanya memperhatikan penyediaan infrastuktur, tetapi juga perubahan perilaku.
Lawrence Green dalam teorinya tentang kesehatan masyarakat menyatakan ada dua faktor utama yang sangat berpengaruh yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Faktor perilaku ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat dan norma sosial yang ada.
Akses sanitasi sekolah dapat ditingkatkan jika terus dibicarakan dan dipantau. Ada kurang lebih 1,4 juta murid di NTT, jika setiap orang tua murid selalu memperhatikan dan membahas sanitasi sekolah, bukankah hal ini akan menjadi trending topik yang berdampak pada perubahan perilaku?
Pernahkah orang tua murid mengecek toilet anaknya di sekolah? Pernahkah orang tua murid, melalui komite sekolah, mengupayakan agar kondisi toilet di sekolah minimal sama atau lebih baik dari toilet di rumah?
Pernahkah peningkatan akses sanitasi di sekolah diusulkan dalam Musrembang baik dari tingkat kelurahan sampai Musrembang kabupaten?
Mari pastikan anak sekolah memiliki toilet yang layak sehingga mereka tidak perlu absen hanya karena jamban sekolah yang tidak berfungsi.
Dengan demikian, mereka dapat menikmati proses pendidikan secara maksimal di sekolah dan pada akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang memiliki perhatian terhadap akses sanitasi terutama di lingkungan sekolah.