KBRN, Jakarta: Nusa Tenggara Barat (NTB) diketahui merupakan salah satu kawasan di Indonesia yang paling rawan terjadi bencana. Seperti di wilayah Kabupaten Lombok Timur yang pernah terdampak bencana gempa bumi bermagnitudo 6,4 skala ritcher (SR) pada tahun 2018 lalu. Hal inilah yang membuat sejumlah pihak peduli memerhatikan wilayah ini agar tak terus merasa takut dibayang-bayangi kekhawatiran bencana.
Diketahui, saat terjadi gempa di Lombok dua tahun lalu, BMKG mencatat ratusan gempa susulan terjadi di NTB, dengan magnitudo tertinggi sampai 7,0 SR yang terjadi pada 5 Agustus 2018 di Kabupaten Lombok Utara.
Sampai saat ini, perbaikan sarana prasarana dan peningkatan kapasitas masyarakat di NTB terus dilakukan oleh multipihak. Konteks tersebut mendorong Yayasan Kemanusiaan Muslim Indonesia (YKMI) dan Unicef berfokus pada proses pemulihan Provinsi NTB dalam program “Strengthening Commitment and Capacity of the Indonesia Goverment on WASH Program Implementation In Line With National Targets and SDGs” selama 1 Februari hingga 31 Oktober 2020.
Program di atas selaras dengan program dari Kementerian Kesehatan, yaitu Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), sebuah program yang mengangkat dukungan pemenuhan air bersih, sanitasi dan kebersihan pada tingkatan rumah tangga dan kelembagaan, dengan berkontribusi dalam pencapaian target SDGs ke-3 dan 6 pada tahun 2030.
Kepala Sub Direktorat Penyehatan Udara, Tanah dan Kawasan, Kemenkes Cucu Cakrawati Kosim menyampaikan program ini akan memperkuat peran Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL), mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dalam Program AMPL. Selain itu, program ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas sanitarian dan mitra dalam STBM kebencanaan, serta mendukung implementasi STBM 5 pilar.
“Di samping itu, program ini akan merespon penyediaan akses WASH yang aman, terjangkau dan adil untuk setiap orang. Apalagi di setiap fase tanggap darurat, ketersedian akses yang memadai dan adil sulit tercapai, memutus kebiasaan buang air besar sembarangan secara bertahap dengan memberikan perhatian dalam sanitasi yang baik, terutama untuk anak, perempuan dan kelompok rentan lain,” ujarnya, Selasa (11/2/2020).
Ia menuturkan, Sub Klaster WASH yang dijalankan oleh Direktorat Kesehatan Lingkungan, Kemenkes, disesuaikan dengan tupoksi yang sudah berjalan. Sementara itu, Direktur Kesiapsiagaan BNPB Johny Sumbung dalam arahan kepada penanggung jawab STBM Kemenkes, YKMI dan Unicef mengatakan beberapa hal yang bisa jadi perhatian semua pihak.
“Sub klaster turunan dari Klaster Nasional ini sebenarnya tidak relevan lagi digunakan, karena SK Kepala BNPB Nomor 173 Tahun 2014 yang menjadi pedoman Klaster Nasional tersebut hanya berlaku sampai akhir tahun 2014, dikarenakan dalam diktum kelima memutuskan hanya menggunakan anggaran BNPB tahun anggaran 2014, tetapi jika digunakan pun tidak ada yang salah karena sesuai dengan tugas pokok dan fungsi,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengatakan dokumen renkon yang diminta akan diberikan, tetapi wajib dicek kembali, apakah masih relevan dengan masa sekarang. Sementara itu, pelibatan Lembaga Sertifikasi Profesi Penanggulangan Bencana (LSP PB) bagi fasilitator disegerakan, agar tercapai tujuan akhir yang diinginkan. Kegiatan ini adalah implementasi arahan Presiden Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana 2020, yaitu poin ke-3 terkait pentaheliks.
“Sinergitas dengan BPBD yang sudah menjadi rumah bagi relawan Destana dan Forum PRB Provinsi NTB agar jangan terlalu banyak membentuk pokja-pokja baru saja tetapi memberdayakan pokja yang sudah ada. Kami juga mengingatkan untuk mensinergikan program STBM dengan program Katana yang telah diluncurkan oleh Kepala BNPB di Aceh pada awal Desember 2019 lalu, serta memastikan bahwa peningkatan kapasitas masyarakat terpenuhi,” pungkasnya.