Akses sanitasi di Indonesia masih rendah. Hampir 15 juta keluarga di Indonesia tak memiliki jamban sehat. Pembangunan jamban sehat perlu dilakukan untuk menurunkan angka tengkes atau stunting.
Pakar sanitasi dari Universitas Diponegoro, Semarang, Dr dr Budi Laksono, MHSc menyampaikan, pada 2021 masih terdapat 14,9 juta keluarga yang tidak memiliki jamban. Dampaknya bukan hanya pada bidang kesehatan, melainkan juga pada pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi.
”Penyakit nomor satu dan dua (yang terjadi akibat rendahnya sanitasi) itu adalah penyakit yang berkaitan dengan pencernaan, seperti tifoid dan diare. Tingginya kasus penyakit tersebut banyak menghabiskan anggaran kesehatan,” ujarnya saat bertemu dengan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Brigjen TNI (Purn) dr Noch T Mallisa di kantor KSP, Gedung Bina Graha, Jakarta, Rabu (10/5/2023).
Banyaknya kasus penyakit diare juga dapat menyebabkan anak-anak kekurangan gizi. Imbasnya, gagal tumbuh atau tengkes pada anak-anak semakin sulit diatasi.
Budi yang pernah menggagas gerakan 20 juta jamban untuk masyarakat ini menyampaikan, hal terpenting dalam akses pada jamban adalah higienitasnya. Jamban sehat ditentukan oleh fungsi dan kemampuannya dalam menyimpan feses secara kedap, tidak mengalirkan feses pada sumber air, dan memiliki chemical chamber untuk mengolah feses.
Karena itu, jamban sehat tidak ditentukan dari tembok atau keramiknya. Namun, banyak masyarakat yang salah persepsi dengan hal ini.
Untuk itu, lanjutnya, ketersediaan jamban murah dan sehat menjadi penting demi mencegah penyebaran patogen yang membahayakan sistem pencernaan manusia. ”Penyakit-penyakit pencernaan seperti diare ini mengancam kehidupan anak,” ujar Budi.
Penurunan angka tengkes
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Brigjen TNI (Purn) dr Noch T Mallisa mengakui pentingnya ketersediaan akses jamban sehat bagi masyarakat demi mempercepat penurunan angka tengkes di Indonesia.
Ketersediaan jamban murah dan sehat menjadi penting demi mencegah penyebaran patogen yang membahayakan sistem pencernaan manusia.
Angka tengkes di Indonesia pada 2014 mencapai 37,2 persen, pada 2021 menurun menjadi 24,4 persen, sedangkan tahun 2022 di angka 21,6 persen. Angka ini masih jauh dari acuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen.
Presiden Joko Widodo pun menargetkan penurunan angka tengkes sampai 14 persen pada 2024. Karena itu, program-program untuk menangani tengkes dikerjakan.
Secara umum, penanganan tengkes dilakukan melalui dua cara, yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik adalah penanganan yang bersifat langsung dan kuratif. Intervensi spesifik menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan.
Meski demikian, kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seusai rapat terbatas tentang tengkes, Januari 2022, intervensi spesifik ini hanya berkontribusi 30 persen pada penanganan tengkes.
Adapun 70 persen penentu keberhasilan penanganan tengkes ada pada intervensi sensitif, yakni penanganan yang bersifat tidak langsung dan terdiri dari penyediaan air bersih, lingkungan yang higienis, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, dan sebagainya. Penyediaan jamban pun termasuk dalam intervensi sensitif ini.
Mallisa mengatakan, ketersediaan jamban sehat dan memadai dapat meminimalkan terjadinya kontaminasi lingkungan dan penyebaran penyakit. Risiko infeksi saluran pencernaan dan penyakit diare yang dapat menyebabkan kekurangan gizi dan tengkes pada anak-anak juga bisa dicegah.
”WC for all itu sangat penting. Dalam arti jamban yang sehat. Sebab, ini menjadi salah satu indikator untuk menurunkan stunting. Tetapi, berapa besar potensinya untuk penurunan angka stunting, itu yang kami minta untuk dilakukan risetnya,” kata Malissa lagi.
Apabila besaran penurunan angka tengkes dari ketersediaan jamban diketahui, lanjutnya, KSP akan menginisiasi pembangunan jamban sehat untuk masyarakat. Hal ini dilakukan bersinergi dengan kementerian/lembaga lain.
Sumber : https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/05/10/hampir-15-juta-keluarga-tak-memiliki-jamban