SANITASI merupakan hak asasi manusia yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 2010. Pada tahun 2014, Bank Dunia menyatakan bahwa 780 juta orang tidak memiliki akses air bersih dan lebih dari 2 miliar penduduk bumi tidak memiliki akses terhadap sanitasi. Data Riset Kesehtan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa sekitar 116 juta orang kekurangan sanitasi yang memadai. Sehingga Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan sanitasi terburuk di dunia (detikhelth.com).
Implementasi sanitasi tidak mungkin terwujud tanpa ada ketersediaan air bersih yang cukup. Air bersih dikategorikan sebagai air yang memenuhi persyaratan air bersih yaitu dapat digunakan untuk keperluan sehari hari seperti mandi, cuci, kakus (Permenkes 416/1990). Ketersediaan air bersih dapat dipenuhi dari berbagai sumber air bersih seperti air tanah (air sumur dangkal dan sumur dalam), air permukaan (sungai, danau), dan air hujan.
Air hujan adalah salah satu sumber air bersih yang mudah diperoleh di Indonesia. Secara umum, Indonesia adalah negara tropis yang memiliki curah hujan tinggi. Rerata curah hujan di Indonesia adalah 2000-3000 mm/ tahun (BPS, 2015). Namun demikian, masih sering kita temui beberapa daerah yang mengalami kekeringan dan kekurangan air bersih pada waktu tertentu. Data menunjukan bahwa untuk wilayah Jawa Timur saja terdapat 24 kabupaten yang mengalami darurat kekeringan (BPBD, Jawa Timur 2015). Di Kabupaten Jember terdapat sembilan kecamatan terancam kesulitan air bersih (BPBD Jember 2017), di Kabupaten Probolinggo, terdapat 12 desa di delapan kecamatan mengalami krisis air bersih (Jawa Pos, 19 September 2017), 17 desa di Situbondo kekurangan air bersih (BPBD Situbondo, 2017). Sehingga Badan Penanggulangan Bencana Daerah harus mengirimkan air bersih untuk keperluan minum, memasak dan kebutuhan lainya.
Kualitas kesehatan dan pendidikan anak, terutama anak usia sekolah tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan air bersih dan sanitasi. Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman berkontribusi terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh dunia (Unicef, 2012). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara sanitasi, ketersediaan air bersih dan penyakit. Ketersediaan air untuk mencuci tangan secara tepat dengan menggunakan sabun dapat mengurangi risiko penyakit diare sebesar 42 sampai 47 persen (Unicef, 2012).
Sekolah adalah rumah kedua untuk anak terutama untuk anak usia pendidikan dasar. Anak anak menghabiskan sebagian besar waktunya yaitu sekitar delapan jam setiap hari disekolah. Selama delapan jam di sekolah, siswa pasti membutuhkan air bersih untuk segala aktivitas dan sanitasinya.
Kekeringan termasuk kesulitan air bersih pada toilet sekolah lebih sering dialami saat musim kemarau terjadi lebih lama. Musim kemarau yang lebih lama menyebabkan berbagai kantong sumber air bersih dan sumber air menjadi kering (Nasional republika,13/8/2017; Haluan kepri,8/2017; Net jatim,19/7/2017;Jawa Pos 24/7/2017; metrosemarang,7/9/2017 ). Faktor yang menyebabkan sumber air menjadi kering, antara lain kurangnya daerah resapan air hujan, sehingga air hujan tidak dapat meresap ke tanah mengakibatkan cadangan air tanah makin sedikit.
Sebagai salah satu sumber air bersih, Kualitas air hujan di Indonesia relatif masih bagus. Kualitas air hujan di beberapa daerah di Indonesia masih memenuhi syarat sebagai sumber air bersih bahkan sebagai bahan baku air minum (BMKG, 2018). Dari hasil penelitian Anuar (2015), Marshella (2016) menyatakan bahwa kualitas air hujan masih memenuhi syarat sebagai bahan baku air minum sesuai Permenkes 492/Menkes/Per/IV/2010.
Rerata curah hujan yang tinggi serta kualitas air hujan di Indonesia yang masih baik dapat dipanen sehingga menyelesaikan permasalahan kekurangan air bersih. Luasan atap bangunan sekolah sangat strategis digunakan untuk memanen air hujan (rain water harvesting), juga mampu menjaga ekologi lingkungan karena mampu menampung air hujan jika daerah resapan air kurang luas sehingga dapat mencegah banjir.
Pemanen Air Hujan (PAH) dapat dibuat sederhana, mudah dan ekonomis. Alat penampung air hujan dapat diposisikan diatas tanah maupun dengan sumur resapan. Alat penampung air hujan ini bisa dibuat dengan bahan plastik, aluminium maupun bata semen. Air hujan dari atap sekolah akan ditangkap dan disalurkan melalui pipa ke alat penampungan air hujan di mana selanjutnya akan dipanen saat musim kemarau. Hal yang diperlukan adalah membuat saluran air dari talang bangunan atap sekolah untuk disalurkan ke bak penampung air hujan. Pada bak penampung air hujan tersebut kemudian diberi saluran air pelimpasan keluar untuk menyalurkan air ke bak toilet sekolah. Air hujan pertama kali sebaiknya tidak ditampung ke dalam bak PAH karena masih berfungsi sebagai pembersih atap sekolah yang kemungkinan kotor. Untuk itu saluran penangkap air sebaiknya dilengkapi dengan katup yang bisa di tutup untuk air hujan pertama kali, dan dibuka untuk menangkap air hujan berikutnya yang akan ditampung dalam bak PAH.
Pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development (SDGs) memiliki 17 tujuan dan 169 target yang terintegrasi. Pada tujuan nomor enam, yaitu clean water and sanitation, bertujuan untuk memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan, dijabarkan menjadi beberapa target yang harus diacapai pada tahun 2030 yaitu antara lain: mencapai akses sanitasi dan kebersihan yang memadai dan layak untuk semua; Menurunkan jumlah masyarakat yang menderita kelangkaan air; Mendukung dan memperkuat partisipasi masyarakat lokal dalam meningkatkan pengelolaan air dan sanitasi.
Mengacu pada RPJMN, Indonesia optimis untuk mencapai target 100 persen cakupan sanitasi pada tahun 2019. Untuk itu, Kebijakan satu sekolah dengan satu pemanen air hujan dapat membantu Indonesia dalam percepatan pencapaian target SDGs nomor enam, menurunkan jumlah masyarakat yang menderita kelangkaan air terutama di sektor pendidikan dasar, dan juga akan memperkuat partisipasi masyarakat sekolah dalam mengelola air.
Kebijakan pemanenan air hujan di setiap sekolah, dapat dilakukan dengan kombinasi pendekatan top down dan bottom up. Kebijakan top down (atas-bawah) diperlukan dalam pencapaian tujuan RPJMN dan SDGs dalam pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi. Sedangkan, pendekatan bottom up (bawah-atas) juga harus dilakukan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi, peduli dan punya rasa memiliki terhadap kebijakan program tersebut. Efektivitas kebijakan satu sekolah satu PAH dapat tercapai jika didukung oleh kejelasan implementasi program kegiatan, serta biaya. Untuk itu perlu peran serta pemerintah daerah (Kota/ Kabupaten) dalam pelaksanaannya.