Sejak tanggal 27 Juni, saya resmi menjalani masa perawatan di rumah sakit rujukan covid 19 RSUA Surabaya. Perawatan pun saya jalani hingga diputuskan rawat inap. Keluhan awal yang saya rasakan saat itu adalah batuk dan sesak. Sejak masuk IGD, hati saya sudah nggak enak. Was-was dan mikir gimana kalau begini dan begitu. Ternyata, apa yang saya takutkan jadi kenyataan. Ketika saturasi oksigen saya diperiksa, feeling saya bakal menjalani rawat inap dan mengarah kena virus marcona alias covid 19.
Benar saja, setelah saturasi tidak memenuhi syarat saya pun diminta untuk pemeriksaan selanjutnya. Dan menuju ruang isolasi IGD covid. Kondisi ruangan itu cukup crowded, semakin membuat nafas saya makin sesak. Apalagi, saat bergerak, nafas saya selalu sesak. Akhirnya, benar saya harus menjalani rawat inap sambil menanti hasil tes swab. Ampunnn. Sebelumnya, emak saya sudah lebih dulu menjalani rawat inap di rumah sakit yang sama.
Dengan kondisi seperti dan status yang belum jelas, saya akhirnya dirawat di rs. Lantaran sesak dan gerak saya terbatas, akhirnya urusan ke toilet digantikan dengan pispot alat pipis untuk perempuan. Dua hari saya menggunakan itu. Sungguh itu menyiksa dan mengenaskan, Mak. Saya masih memaklumi kebebasan saya yang terengut lantaran menjadi suspect pasien covid. Saya masih bisa menerima berada dalam satu ruangan dengan lima pasien lain yang statusnya juga belum jelas. Saya masih bisa juga berdamai dengan keadaan lantaran tak ada hiburan seperti fasilitas televisi. Namun, satu-satunya hal yang tidak bisa saya terima adalah tidak ada toilet atau kamar mandi di ruang kami dirawat.
Jadi, alih-alih mikir mandi, untuk pipis dan pup saja, pasien harus pakai pispot. Kondisi ini sepertinya harus kami terima minimal sepuluh hari. Ini jauh dari kondisi dibandingkan jika saya terisolasi di hutan sekalipun. Ya, ini benar-benar sebuah isolasi. Belum diperparah dengan nafas saya yang sesak maupun tangan saya yang bengkak lantaran pemakaian infus. Tidak ada bel untuk memanggil perawat. Berteriak pun percuma. Jadi, alih-alih berharap dokter datang untuk visite dan menanyakan kabar atau kondisi kita, datang petugas kebersihan untuk mengambil pispot atau pampers saya saja, saya sudah sangat bersyukur. Jadi, pada saat ini, saya benar-benar tengah mempertanyakan, dimana peran garda depan, para tenaga medis, yang kabarnya selalu dielu-elukan? Saya tidak menuntut apa-apa. Saya paham betapa sibuknya tenaga medis seperti yang saya baca baca dimana saja. Saya hanya minta toilet agar bisa membersihkan diri. Supaya tidak stres dan malah memperburuk kondisi saya.
Yang membuat saya malas untuk makan, ada tetangga pasien seorang ibu lansia setelah buang hajat di pispot oleh petugas hanya diminta meletakkan pispot itu di atas meja ranjang pasien. Sementara hari itu, jam makan siang sudah mulai. Lalu makanlah ibu itu di depan psipot yang sudah terisi kotoran tanpa seorang petugas pun yang memindahkan pispot itu. Saya pun memanggil petugas. “Bisa minta tolong pispot dipindahkan. Saya mau makan.
Di satu sisi, pemerintah selalu mengatakan di era pandemi ini agar selalu menjaga kesehatan, cuci tangan pakai sabun dll. Apakah ini berlaku juga bagi kami pasien dengan diagnosa dugaan mengarah Covid? Karena bahasa itu yang selalu saya dengar. Ya, seharusnya secara otomatis kebersihan lingkungan selalu terjaga. Tapi TIDAK bagi saya dan teman teman yang berada di ruangan HCU lt 6 tempat kami dirawat. Betapa kagetnya ketika memasuki ruangan tidak ada sanitasi/toilet, padahal bagi saya maupun orang lain pasti sangat perlu.
Hari pertama di lt 6 saya mulai maping keadaan, bagaimana nanti buang hajat dan pipis. Kepada keluarga, saya memesan pampers. Saya pun buang hajat dan pipis di pampers, cara membuangnya dimana? Saya lempar di samping lantai sambil menunggu petugas ambil. Meski banyak perawat yang lewat kadang mereka juga nggak mau mungut kotoran di pampers mungkin karena bukan tugasnya. Ya jadinya sekitar 5-6 jam kotoran itu dibereskan. Jika nafas saya ok, saya bawa sendiri dan buang di tempat sampah.