Perkembangan pembangunan di Indonesia dewasa ini menghadapi tantangan klasik terutama masih adanya ketimpangan yang nyata antara wilayah perkotaan dan perdesaan, Jawa dan luar Jawa serta distribusi pendapatan yang tidak merata dalam menikmati hasil pembangunan. Pada tingkatan yang lebih kecil, kesenjangan juga seringkali terjadi antar komunitas.
Contohnya dapat dijumpai pada komunitas di Kampung Gorowong yang relatif masih tertinggal dibandingkan komunitas lainnya di wilayah Jawa Barat yang memiliki visi jangka panjang menjadi provinsi termaju di Indonesia. Komunitas Kampung Gorowong yang terletak di Desa Maroko, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut termasuk ke dalam kategori desa tertinggal (Laporan Sinergitas Pembangunan Desa di Provinsi Jawa Barat, 2007).
Dilihat dari aspek eskternal, secara keseluruhan Kabupaten Garut memiliki jumlah desa tertinggal paling banyak di Jawa Barat (mencapai 28,4% dari total desa). Penentuan desa tertinggal ini didasarkan pada variabel: (1) Potensi Desa meliputi potensi ekonomi, fasilitas pendidikan dan kesehatan, tenaga kesehatan, waktu tempuh ke ibukota kecamatan, jalan utama desa, sentra industri, pasar, sanitasi lingkungan, perbankan/lembaga keuangan; (2) perumahan dan lingkungan; dan (3) keadaan penduduk.
Kampung Gorowong merupakan daerah yang terletak di lembah perbukitan dengan akses yang sangat jauh dan terpencil yang membutuhkan waktu 4−5 jam perjalanan dari Kota Garut. Komunitas ini secara ekonomi relatif masih tertinggal dibandingkan desa lainnya dan menjadi potret masih adanya kesenjangan nyata wilayah perkotaan dan perdesaan di Pulau Jawa.
Namun, hal ini menjadi tantangan untuk dapat menjawab persoalan yang dihadapi oleh komunitas seperti pemenuhan prasarana lingkungan, akses pendidikan dasar, dan kompetensi untuk kegiatan ekonomi. Pada sisi lain, komunitas di Kampung Gorowong masih mempertahankan kearifan lokal dengan budaya gotong royong yang masih kental dengan primordialisme dan menempatkan figuritas tokoh sebagai panutan di masyarakat.
Untuk membangun komunitas, diperlukan upaya secara kontinu melalui pemberian akses bagi masyarakat agar dapat berkembang dan menciptakan peluang dalam membangun kemandirian bagi anggota komunitas tersebut. Pada konteks pemberdayaan masyarakat, peran fasilitator menjadi penting terutama dalam mengubah perilaku dan budaya komunitas.