Kota merupakan suatu kawasan yang relatif heterogen baik dari segi pekerjaan, kultural, dan permukiman masyarakatnya. Kota-kota besar di Indonesia berfungsi sebagai pusat ekonomi yang menjadi magnet bagi masyarakat untuk bekerja bahkan bertempat tinggal di kota (Harahap, 2013). Hal ini menyebabkan terjadinya urbanisasi secara masif, yaitu setengah dari penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada tahun 2010 (Mardiansjah, Handayani, & Setyono, 2018). Terjadinya urbanisasi menjadi tantangan kedua terbesar yang dihadapi oleh sebagian besar kota di Asia dan Pasifik (UCLG ASPAC, 2018). Di Indonesia sendiri, diperkirakan pada tahun 2040, 60 persen hingga 70 persen populasi masyarakat Indonesia tinggal di kota (UCLG ASPAC, 2018). Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015), diperkirakan kurang lebih 70 persen dari seluruh penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada tahun 2035. Pertumbuhan penduduk yang berdomisili di kota, membuat kawasan permukiman warga semakin padat karena pembangunan yang terjadi secara signifikan dan secara terus-menerus. Hal ini jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan masalah, salah satunya masalah akan akses air bersih dan sanitasi.
Air dan sanitasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setiap ada air minum atau air bersih pastinya akan menghasilkan air limbah. Sehingga, pengelolaan air bersih akan berkaitan dengan pengelolaan sanitasi. Indonesia menjadi salah satu negara yang mengadopsi New Urban Agenda sebagai elemen penting untuk mengimplementasikan Cities for All sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor enam, yaitu menyediakan akses air bersih dan sanitasi bagi masyarakat pada 2030 (BPIW, 2017). Fasilitas sanitasi yang layak adalah yang memenuhi standar kesehatan, dimana disertai dengan perilaku hidup bersih dan sehat merupakan elemen yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Suryani, 2020) Lalu, apakah akses air bersih dan sanitasi di Indonesia sudah aman?. Mengingat kota harus memastikan akses universal ke layanan dasar seperti air, sanitasi, dan pengelolaan limbah untuk kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat, dan lingkungan perkotaan (UN Habitat, 2016).
Hasil dan Pembahasan
Akses Air Bersih dan Sanitasi berdasarkan SDGs
Akses air bersih dan sanitasi yang aman merupakan dasar dalam meningkatkan standar kehidupan kota yang sehat dan produktif. Penyediaan layanan air bersih dan sanitasi untuk penduduk kota yang berkembang secara berkelanjutan merupakan salah satu tantangan paling mendesak di dunia (Andersson et al., 2016). Secara global, 91 persen rumah tangga mendapatkan akses air minum yang layak pada tahun 2015, sedangkan untuk akses sanitasi layak sebesar 68 persen (Hutton & Chase, 2016). Indonesia sendiri telah mencapai akses air layak sebesar 74,6 persen, secara nasional pada tahun 2018. Namun, ketika capaian tersebut diterjemahkan berdasarkan standar SDGs, hanya 7,42 persen yang memenuhi kualifikasi akses “aman” (Virencia, 2020). Berdasarkan standar SDGs, pencapaian akses “layak” tidak lagi memenuhi standar “aman”. Berdasarkan standar tersebut, “aman” terjadi ketika suatu fasilitas dapat diakses secara berkelanjutan (Virencia, 2020). Sehingga, cakupan layanan akan signifikan lebih rendah ketika mempertimbangkan target air dan sanitasi di bawah SDGs dengan pencapaian standar yang lebih tinggi akan air dan sanitasi yang dikelola dengan aman.
Kurangnya akses air minum yang aman, sanitasi yang tidak memadai, dan kebersihan yang buruk menimbulkan berbagai penyakit seperti kolera, tifoid, hepatiti, dan lain sebagainya, dimana menyebabkan lebih dari dua juta orang, mayoritas adalah anak-anak, meninggal setiap tahunnya (Paterson, Mara, & Curtis, 2007). Kondisi sanitasi di perkotaan, terutama pada masyarakat yang tinggal di permukiman informal diperburuk oleh kepadatan penduduk yang tinggi dan pengelolaan limbah rumah tangga yang tidak memadai (World Bank, 2013). Sekitar 1,5 miliar orang di daerah perkotaan menggunakan toilet yang terhubung ke jaringan pembuangan limbah tanpa pengolahan (Andersson et al., 2016). Hal ini terjadi karena kondisi air dan sanitasi di Indonesia mengalami kekurangan pasokan air bersih, terutama pada daerah perkotaan. Berdasarkan laporan di Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tahun 2015, hampir 65 persen air sungai di Indonesia dalam keadaan tercemar berat (Hasuki, 2016). Sumber pencemaran dominan berasal dari limbah domestik yang tidak dikelola dengan baik hingga mengotori air dari hilir ke hulu (Elysia, 2018).
Lemahnya pengelolaan lingkungan di Indonesia, memberikan dampak negatif terhadap sektor air bersih dan sanitasi kota. Berdasarkan data United States Agency for International Development (USAID) dan Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH), Indonesia berasa di peringkat akhir di antara negara-negara ASEAN dalam masalah akses air dan sanitasi (Suryani, 2020). Dengan jumlah populasi masyarakat di perkotaan sebanyak 137.400.000 penduduk, yang terlayani sanitasi melalui air dan perpipaan perkotaan di Indonesia baru mencapai 33 persen (Alaydrus, 2019). Selain itu, masih terdapat sekitar 13 persen masyarakat di perkotaan yang masih menerapkan perilaku buang air besar sembarangan. Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan, karena sanitasi yang buruk akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan dan derajat kesehatan masyarakat kota. Kedua hal tersebut pada akhirnya berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia serta menghambat potensi pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Di perkotaan pada permukiman kumuh yang padat, rumah terkadang dibangun langsung di atas saluran air terbuka, sehingga memperburuk masalah drainase dan banjir. Memperbaiki sanitasi di lingkungan seperti itu bisa lebih sulit daripada memperkenalkan infrastruktur baru di masyarakat yang tidak memiliki infrastruktur dan layanan sama sekali (Andersson et al., 2016). Terlebih jika selokan, tangki septik, dan lubang jamban terletak di bawah tanah tidak dapat berfungsi untuk melindungi kesehatan masyarakat jika area tersebut tergenang air atau banjir. Masalah ini cenderung berdampak terhadap masyarakat miskin yang tinggal di permukiman informal, sehingga diperlukan beberapa dekade untuk mencapai pengelolaan dan pembuangan tinja dan air limbah yang aman di seluruh kota, yang didukung oleh kesadaran konsumen, pembiayaan berkelanjutan, sistem pengambilan keputusan dan pemberian layanan yang efektif (World Bank, 2013).
Akses Air Bersih dan Sanitasi Berkelanjutan
Akses air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan merupakan solusi untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia, dimana harus layak secara ekonomi, dapat diterima secara sosial, sesuai dengan teknis dan kelembagaan (Andersson et al, 2016). Tentunya juga harus melindungi lingkungan dan sumber daya alam. Misalnya, ketika tangki septik terisi penuh, serta untuk memasukkan aspek penting lainnya yaitu keberlanjutan, seperti keramahan pengguna, keterjangkauan, perlindungan kesehatan publik dan ekosistem serta akses yang adil dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Akses air bersih dan sanitasi yang layak dapat meningkatkan kesehatan, kualitas hidup individu, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan produktivitas ekonomi bangsa.
Pemenuhan air bersih di kawasan padat perkotaan dapat dipenuhi salah satunya dengan sambungan perpipaan komunal yang dilengkapi meteran induk (Suryani, 2020). Meteran induk ini dapat diterapkan di wilayah perumahan padat penduduk, dimana sebelumnya PDAM tidak dapat membuat jaringan distribusi sesuai dengan standar teknis yang berlaku. Selain itu, setiap jamban perlu dilengkapi dengan fasilitas tangki septik. Tangki septik adalah suatu bak kedap air yang berfungsi sebagai tempat penampungan limbah kotoran manusia (tinja dan urine) (Idhom, 2019). Namun, masih banyak penduduk di permukiman informal perkotaan yang tidak memiliki tangki septik karena permasalahan biaya dan akses lahan yang mencukupi. Hal ini dapat diatasi dengan menyediakan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) secara komunal yang dapat digunakan oleh sekelompok rumah tangga dengan melayani 100 hingga 500 rumah tangga yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan swasta (Chandra, 2020).
Dari hal ini, agar layanan air bersih dan sanitasi di perkotaan berjalan secara efektif, dibutuhkan model perencanaan top-down dan bottom-up (Maika, 2002). Perencanaan top-down terjadi pada saat pemerintah sebagai pemrakarsa sekaligus pengembang utama proyek. Pemerintah nasional harus memastikan bahwa otoritas lokal dan lembaga yang bertanggung jawab memberikan pelayanan yang memenuhi standar dengan dapat diterima, memiliki sarana hukum yang mengikat, finansial, dan adanya sistem untuk melakukannya, serta memiliki mekanisme pemantauan guna mengetahui perkembangan dan hasil terhadap kebijakan yang telah diterapkan. Sedangkan pendekatan bottom-up muncul ketika agen selain pemerintah menjadi pemrakarsa dan juga ikut serta dalam proyek, seperti adanya agen lingkungan pendukung dari berbagai pembuat keputusan yang memberikan panduan kebijakan, aturan, dan insentif untuk memprioritaskan sanitasi, memastikan akuntabilitas, serta mendorong pengembangan kapasitas yang memadai untuk memberikan layanan secara berkelanjutan dan terjangkau.
Pemerintah daerah sebagai pemrakarsa dan pengembang perencanaan sistem harus mengambil peran sentral dalam memastikan sanitasi memadai di dalam yurisdiksinya dengan merencanakan, mengoordinasikan, dan memantau kegiatan guna menyediakan sanitasi yang efektif. Sektor swasta mungkin bertanggung jawab untuk memberikan layanan, tetapi sebagian besar ada di bawah perencanaan dan koordinasi keseluruhan oleh otoritas lokal. Yang terakhir, diperlukan adanya konsultasi kepada pihak masyarakat untuk memastikan bahwa layanan sanitasi menjangkau semua rumah tangga.
Sumber : https://berandainspirasi.id/mewujudkan-kota-yang-berkelanjutan-apakah-akses-air-bersih-dan-sanitasi-di-indonesia-sudah-aman/