Ratusan warga di sejumlah desa di pelosok Kabupaten Tangerang hingga saat ini belum mendapatkan akses sanitasi toilet bersih buat buang hajat mereka.
Misalnya warga di Kampung Kelor, Desa Kelor, Kecamatan Sepatan ini. Sebanyak 50 kepala keluarga di lingkungan ini harus berebut satu kakus (toilet) untuk buang air besar alias BAB.
Menurut salah seorang warga bernama Januar, toilet umum yang berusia 12 tahun itu menjadi andalan sekitar 50 kepala keluarga yang masing masing keluarga beranggotakan 5-6 orang untuk buang air besar.
Masalahnya, jumlah toilet yang minim dan tak sebanding dengan jumlah orangnya, seringkali warga berlarian ke kebun dan kali yang berjarak puluhan meter dari toilet itu jika antrian buang hajat mengular panjang.
“Terutama kalau pagi, banyak yang mau buang air, karena dah kebelet yah terpaksa lari ke Kebon, sawah atau Kali,” kata warga desa yang lain, Juriah, tersipu.
Bilik kakus buatan diatas kali atau sungai yang lebih dikenal sebagai “helikopter” masih marak di Desa Sangiang, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang yang masih memiliki kebiasan buang air besar di sungai. TEMPO/JONIANSYAH HARDJONO
Juriah mengaku malu karena sering dimarahi dan ditegur pemilik kebun Singkong dan kebun Pisang yang dijadikan ‘arena’ buang hajat tersebut. “Tapi gimana yah,” katanya dengan nada bingung.
Desa Kelor adalah satu dari puluhan desa di wilayah Kabupaten Tangerang yang sampai saat ini belum mendapatkan akses air bersih.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang hingga Oktober 2018 ini sekitar 27,2 persen dari 3,4 juta warga di wilayah itu untuk urusan buang hajat masih sembarangan. “Kami masih melakukan pembinaan terus menerus kepada masyarakat,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang Desriana Dinardianti kepada Tempo, Sabtu 17 November 2018.
Menurut Desriana jika dibandingkan tahun 2012 lalu jumlah warga Kabupaten Tangerang yang buang air sembarangan sudah banyak mengalami perubahan walaupun belum mencapai universal akses.
Warga Kampung Kelor, Desa Kelor, Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang menunjukan toilet umum satu satunya yang mereka gunakan untuk buang air besar. Karena minim fasilitas sanitasi, di kampung ini masih melakukan buang air besar sembarangan di kebun dan di Kali. TEMPO/JONIANSYAH HARDJONO
Hal ini, kata Desriana dibuktikan dengan peningkatan akses sanitasi atau jumlah yang buang air besar di toilet atau WC dari 66, 6 persen di tahun 2012 menjadi 72.18 di ditahun 2017. “Dan akses saat ini Oktober 2018 mencapai 72,8 persen,” kata Desriana.
pemerintah setempat harus berperan aktif dalam menekan jumlah warga yang BAB sembarangan dengan memfasilitasi toliet2 atau jamban di tempat2 yg di perlukan karena sangat berpengaruh besar pada kelangsungan hidup warganya alat pembuatan jamban sehat terdapat di produk sanitarian kit.