Di Makasar, banyak anak hidup di kampung-kampung kumuh. Hidup di sana tak mudah. Hal-hal yang telah kita anggap sebagai kebutuhan dasar: air yang tak terkontaminasi, makanan bergizi, lingkungan hidup yang bersih dan aman, bukanlah sesuatu yang terjamin, melainkan harus diperjuangkan setiap hari. Mereka tak hanya harus menanggungkan kekumuhan sekitar mereka, mereka juga harus menanggungkan kemelaratan keluarga mereka. Mereka harus menyaksikan keluarga mereka bekerja keras menyambung hidup setiap hari, dan menolong sebisa mungkin. Mereka harus menahan pilu dan rasa terhina karena mereka tahu di tempat lain ada kehidupan yang lebih baik, yang lebih sehat—kehidupan yang mungkin pernah mereka lihat di televisi atau di wilayah-wilayah kota tak jauh dari tempat tinggal mereka. Kehidupan yang baru saja disadari dan mulai diperjuangkan oleh anak-anak di belahan dunia lain, demi masa depan yang lebih baik dan lebih sehat.
Chitra dan Dela adalah saudara sepupu. Mereka tahu sedikit banyak arti kerja keras. Ibu Chitra, Salmawati, bekerja sebagai pembersih botol kecap di pelbagai rumah makan di sekitar kampung kumuh. Fakta yang ironis, memang—walaupun ada sesuatu tentang realita itu yang bisa jadi membuat kedua anak itu kuat menghadapi begitu banyak beban kehidupan. Sebab tak mudah, tentunya, menyaksikan perempuan 31 tahun itu menyusuri jalan yang sama, 1 kilometer panjangnya, 6 sampai 7 kali per hari, untuk mengambil air bersih dari satu tempat ke tempat lainnya, dan bagaimana di tengah itu semua ia masih bisa menyisihkan waktu dan tenaga untuk mendidik anak-anak sekitar untuk tak mengemis di jalanan
Kita tak tahu apa yang melahirkan dan melanggengkan harapan. Namun Chitra dan Dela bercita-cita menjadi dokter suatu hari. Mungkin mereka merasa bahwa tempat tinggal mereka tak akan bertahan lama, baik secara biologis maupun ekologis. Mungkin mereka percaya bahwa hari itu akan tiba: saat mereka mengucap tabik, lalu menapak hari depan yang lebih cerah, bak untuk diri mereka sendiri maupun untuk lingkungan tempat mereka bermukim.
Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.

UNICEFIndonesia/2018/ShehzadNoorani
Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB tentang Hak Anak (CRC).
Konvensi menjamin apa yang harus dilakukan oleh negara-negara agar semua anak tumbuh sesehat mungkin, bisa belajar di sekolah, dilindungi, didengarkan pandangannya, dan diperlakukan secara adil.
Untuk Indonesia, sebagai bagian dari memperingati 30 tahun CRC yang jatuh pada bulan November 2019, UNICEF meminta penulis Indonesia Laksmi Pamuntjak untuk membantu kami mewujudkan beberapa artikel CRC ini.
Dengan inspirasi yang didapat dari foto dan gambar yang tersedia di database kami, serta kolaborasi dengan para spesialis program kami, Laksmi menulis 15 teks fiksi pada beberapa artikel yang paling relevan untuk konteks Indonesia.
Meskipun refleksi-refleksi ini terinspirasi dari foto-foto yang menyertai, semua teks itu tidak menggambarkan kehidupan atau kisah siapa pun yang tergambar di dalamnya.
Sumber : https://www.unicef.org/indonesia/id/stories/refleksi-dari-kha-pasal-24