Hal ini tentu beresiko besar mencemari lingkungan, mempengaruhi kesehatan hingga menyebabkan kematian bagi warga sekitar.
Berdasarkan data WHO/UNICEF pada tahun 2012, Indonesia merupakan negara kedua terbesar di dunia di mana penduduknya masih mempraktikkan buang air besar sembarangan (BABS). Keadaan ini menyebabkan sekitar 150.000 anak Indonesia meninggal setiap tahunnya karena diare dan penyakit lain yang disebabkan sanitasi yang buruk.
Data terkini dari situs monitor Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang dimuat di website Kementerian Kesehatan RI menunjukan bahwa masih ada 8,6 juta rumah tangga yang anggota keluarganya masih mempraktekan BABS per Januari 2020.
“Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia dimana hampir 28 juta orang Indonesia kekurangan air bersih, dan 71 juta orang tidak memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang lebih baik,” ujar Don Johnston, Operations Director orgaisasi nirlaba Water.org Indonesia dalam siara pers yang diterima TIMES Indonesia, Jumat (31/1/2020).
Johnston mengatakan bagi jutaan keluarga Indonesia yang berpenghasilan rendah, sambungan atau sumur air baru dan toilet yang lebih baik tidak dapat dijangkau sehingga dibutuhkan bantuan investasi dari berbagai pihak agar akses untuk air bersih dan sanitasi yang baik itu dapat dijangkau lebih banyak masyarakat.
General Manager Reckitt Benckiser Hygiene Home Indonesia, Karim Kamel mengatakan perusahaan tempat bekerja merupakan produsen produk pembersih Harpic. Menurutnya, masih banyak masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi layak.
“Ini membuat banyak warga masih buang air besar di ruang terbuka menjadi permasalahan global yang harus segera diatasi,” ujarnya.
Karim mengatakan yang telah dilakukan perusahaannya yang beroperasi lebih dari 100 tahun ini berupaya memberikan akses terhadap toilet bersih dan higienis.
“Kami berkomitmen untuk menjadi bagian dalam mengatasi krisis kebersihan dan sanitasi global ini. Bersama dengan mitra kerja lainnya, kami ingin meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya perubahan perilaku hidup bersih dengan toilet dan sanitasi layak sehingga tidak ada lagi masyarakat yang buang air besar sembarangan,” ujar Karim.
Karim mencontohkan mengacu data STBM bahwa masih ada 4,5 juta rumah tangga di Pulau Jawa masih mempraktekan BABS telah mendorong pihaknya juga bergerak untuk mengentaskan permasalahan itu dengan target rampung tahun 2025.
“Untuk merealisasikan target tersebut, kami menggandeng Water.org, SATO, dan Koperasi Simpan Pinjam Mitra Dhuafa (KOMIDA) untuk bekerja sama mengedukasi tentang pentingnya hidup bersih dengan dan memiliki toilet dan sanitasi layak,” katanya
Sebagai langkah awal, ujar Karim, pihaknya telah mengajak masyarakat untuk berkontribusi memberikan akses terhadap toilet yang lebih bersih kepada masyarakat yang membutuhkan melalui kampanye Aksi Toilet Bersih sejak 2019 lalu.
Adapun berdasarkan data KSP Mitra Dhuafa (KOMIDA), dari 735.957 anggota yang tersebar di 287 kabupaten dan daerah di Indonesia, hanya 551.435 anggota yang memiliki toilet dan septictank. Sedangkan ada 105.821 anggota yang memiliki toilet namun tidak tersambung septictank dan 78.701 anggota yang belum memiliki toilet.
“Dari data Desember 2019, masih banyak anggota yang tidak mempunyai toilet ataupun sanitasi kurang layak, dan masih banyak perilaku buang air besar sembarangan di jamban samping sungai karena faktor kebiasaan,” ujar Sugeng Priyono, Direktur Operasional KOMIDA.
Menurut laporan World Bank’s Water and Sanitation Program (WSP) dalam Economic Impact of Sanitation in Indonesia, sanitasi buruk menjadi penyumbang bagi meningkatnya penyakit diare, di mana anak-anak menjadi korban terbanyak. Setidaknya ada empat dampak sanitasi buruk pada kesehatan antara lain penyakit diare, tifus, polio, dan penyakit cacingan. Untuk mencegah meluasnya dampak tersebut, masyarakat perlu memiliki kesadaran terhadap pentingnya sanitasi.
Sumber : https://timesindonesia.co.id/peristiwa-daerah/249012/sanitasi-buruk-berpotensi-ganggu-ketersediaan-air-bersih