Di Papua, diare menjadi penyakit yang paling banyak menyumbang angka kematian pada anak. Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Papua Beeri Wopari mengatakan setiap tahunnya, di Papua ada sekitar 30 ribu kasus diare yang menyebabkan kematian.
Beeri mengatakan hal ini disebabkan oleh kondisi sanitasi yang masih buruk serta kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS). Belum lagi kondisi air yang kotor dan kurangnya ketersediaan fasilitas kebersihan juga menjadi permasalahan sendiri.
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menyebutkan sebanyak 66 persen kasus diare lebih tinggi di lingkungan yang mempraktekkan BABS, dibandingkan di daerah perumahan yang memiliki toilet pribadi.
Orang yang melakukan BABS biasanya tidak mencuci tangan dengan sabun setelahnya. Hal ini akan memicu banyak kuman dan bakteri yang bersarang di tangan.
Tak hanya itu, kotoran yang dibuang di sembarang tempat juga menarik lalat untuk hinggap. Lalat yang hinggap itu bisa saja masuk ke rumah dan hinggap di makanan.
Kebiasaan BABS seperti di pinggir sungai tentunya akan mencemari air. Padahal seringkali banyak sawah dan perkebunan yang masih mengandalkan air sungai untuk pengairan. Akibatnya tanaman-tanaman yang merupakan sumber makanan itu ikut tercemar dan berbahaya untuk dikonsumsi.
“BABS di pinggiran kali atau kebun. Kalau hujan airnya mengalir ke sungai dan dikonsumsi. Orang yang tinggal di bagian bawah (hilir) tidak tahu kalau dari atas (hulu) airnya sudah tercemar,” kata Beeri.
Beberapa masalah tersebut pun akhirnya memicu timbulnya diare. Dia mengatakan, perubahan fisiologis yang begitu cepat saat diare dan penanganan yang terlambat katena dianggap penyakit sepele membuat diare menyebabkan kematian.
Beeri bercerita, di Papua, fenomena BABS tersebut masih sering ditemukan. Ada yang BABS di kebun, di sungai, atau bahkan di pinggir pantai. Para pelaku BABS melakukan hal tersebut karena tidak punya fasilitas sanitasi di rumahnya.
“Ada data menunjukkan sekitar 60,7 persen pelaku BABS karena alasan sudah biasa. Itu memang terbukti secara stastistik. Dan alasan lainnya, belum mempunyai WC,” ujar Beeri.
Masalah Lainnya Akibat BABS
Bukan cuma diare yang menyebabkan kematian, BABS juga memicu penyakit lainnya seperti demam berdarah atau malaria. Penyakit malaria yang endemik di Papua, ditakutkan bisa mengancam penduduk yang melakukan BABS, meskipun belum ditemukan kasus serupa.
“Kebanyakan masyarakat BABS di kebun, pinggiran kali, yang merupakan daerah perindukan nyamuk. Saat BABS mereka berada di sarang nyamuk dan malaria endemiknya masih tinggi,” kata Beeri.
Pada kondisi lain, buruknya sanitasi juga memberikan dampak negatif pada anak. Data dari UNICEF menunjukkan, sebanyak 40 persen anak Indonesia masih kerdil atau stunting. Hal tersebut disebabkan masalah sanitasi yang buruk dan kondisi kekurangan gizi, di luar genetik tentunya
“Masalah hambatan pertumbuhan pada anak mempunyai efek jangka panjang yang memengaruhi mereka baik secara fisik, ekonomi dan sosial,” ujar Chief Water, Sanitation and Hygiene (WASH) UNICEF Aidan Cronin.
Untuk menghindari kondisi yang semakin memburuk, Kementerian Kesehatan menggandeng berbagai organisasi menggalakkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Papua.
Sejak dimulai pertama kali sekitar 2011 lalu di Papua, progam yang digagas Kementerian Kesehatan ini berhasil mengurangi angka buang air besar sembarangan (BABS). Bahkan beberapa daerah sudah dinyatakan bebas dari perilaku BABS.
Dalam tiga tahun terakhir saja di Biak Papua, laporan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional menyebutkan tahun 2014 sanitasi yang baik sudah mencakup 94,6. Angka tersebut mengantarkan Biak menjadi kota dengan cakupan sanitasi terbaik kedua setelah Jayapura.
Tapi, sayangnya, di beberapa daerah belum menunjukkan hasil yang baik. Sebab, berbenturan dengan kebiasaan masyarakat yang sering BABS.
Sanitasi Terpadu Berbasis Masyarakat (STBM) di Papua dilakukan langsung oleh masyarakat dengan dibantu oleh beberapa organisasi seperti UNICEF, Simavi, Rumsram, dan Wahana Visi Indonesia, juga Dinas Kesehatan setempat.
STBM merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Program ini bertujuan untuk menurunkan angka penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi yang buruk dan perilaku yang tidak bersih.