Target bebas sanitasi buruk yang dicanangkan agar tercapai pada 2019 belum terpenuhi. Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Agus Nurali mengatakan, target yang diupayakan melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) itu baru mencapai sekitar 60,6 persen. Kendala antara lain dipicu budaya masyarakat yang heterogen.
“Tidak semua orang terbiasa menggunakan toilet untuk buang air besar maupun buang air kecil. Kondisi geografis, budaya, lingkungan, dan latar belakang pendidikan memengaruhi pola pikir masyarakat,” kata Imran kepada HARIAN NASIONAL, Minggu (6/10).
Imran menjelaskan, pemerintah melakukan berbagai pendekatan, antara lain melalu analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Selain itu, dilakukan juga sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat.
“Setelah masyarakat memahami pentingnya sanitasi layak, baru program STBM diterapkan,” jelas Imran.
Dia menyebut, beberapa daerah tercatat sebagai daerah yang terbebas dari Buang Air Besar Sembarangan (BABS), yaitu Madiun, Pacitan, Magetan, dan Ngawi. Adapun Kabupaten Grobogan tercatat sebagai daerah 100 persen sanitasi layak.
Bupati Bojonegoro Suyoto mengatakan, program STBM efektif untuk menciptakan sanitasi yang layak di daerahnya.
“Pada tahun 2008, masyarakat Bojonegoro yang memiliki toilet hanya 35 persen. Akan tetapi, sejak program STBM dicanangkan, sekarang sudah mencapai 90 persen,” ujar Suyoto.
Program STBM dilakukan melalui gerakan berbasis masyarakat. Gerakan itu diwujudkan melalui arisan toilet, sosialisasi sanitasi layak, dan wajib memiliki toilet sebagai syarat menikah. Suyoto mencontohkan, terkait gerakan arisan toilet, uang arisan digunakan untuk membangun toilet secara gotong royong.
Menurut dia, Kabupaten Bojonegoro sedang mencanangkan Gerakan Desa Sehat dan Cerdas (GDSC). Setiap desa yang telah terbebas dari sanitasi buruk berhak dideklarasikan sebagai Open Defecation Free (ODF).
“Dengan demikian, masyarakat akan berlomba-lomba menciptakan sanitasi layak di lingkungannya. Dampaknya, kesehatan masyarakat meningkat,” kata Suyoto.
Kepala Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (B2PL) Dinas Kesehatan Kota Bandung dr Heni Rahayu Ningtyas, MKM, mengatakan, masyarakat Bandung secara umum telah paham mengenai pentingnya STBM. Sejak 2014, sebanyak 900 kader STBM disebar di 30 kecamatan. Mereka diberikan pelatihan untuk melakukan pemicuan STBM kepada masyarakat setempat. Hingga saat ini, capaian STBM di Kota Bandung sebesar 74 persen.
“Ada dua kendala dalam pelaksanaan STBM. Pertama, wilayah padat penduduk terkendala infrastruktur. Sulit untuk membangun septitank yang diharuskan berjarak beberapa meter dari sumber air. Kedua, kondisi masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah terkendala biaya. Namun, sebisa mungkin pemerintah kota memberikan bantuan untuk membangun sanitasi layak,” jelas Heni.
Dia menambahkan, pemerintah kota Bandung menargetkan setiap tahun ada dua kelurahan berstatus ODF.
Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Tuti Hendrawati Mintarsih mengatakan, budaya masyarakat yang heterogen sejatinya dapat diatasi dengan melakukan pendekatan pada tokoh masyarakat yang paling berpengaruh.
“Tokoh masyarakat adalah panutan. Jika tokoh masyarakat sudah memahami pentingnya sanitasi layak, ia akan mampu menggerakkan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang sehat. Harus ada pemicunya dulu. Lambat-laun, masyarakat akan tergerak mengikuti,” ujar Tuti.