Sanitasi adalah hak dan kebutuhan mendasar setiap orang. WHO menyebut, pada 2017, Indonesia menempati peringkat sanitasi terburuk ke-3 di dunia, setelah India dan Tiongkok. Sebuah kenyataan pahit yang harus diterima pemerintah dan menjadi pelajaran serius ke depan.
Dalam APBN 2020, pemerintah mencantumkan pembangunan fasilitas air minum dan sanitasi. Salah satu di antaranya, pembangunan sistem pengelolaan air limbah domestik terpusat: 506 unit IPAL dengan 838 SR, pengembangan dan pembangunan sistem pengelolaan air limbah domestik setempat 10.079 unit tangki septik komunal, 167.322 unit tangki septik individual, 483 unit MCK dan pengadaan 42 truk tinja.
Masalah sanitasi pun tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Tujuan 6) tentang akses air minum aman, akses sanitasi, dan setop buang air besar sembarang, serta kualitas pengolahan limbah pada 2030. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan capaian akses sanitasi layak tahun 2018 adalah 74,58 persen. Capaian yang tentu butuh kerja amat keras untuk mencapai angka 100 persen sesuai target RPJMN 2015-2019. Penghujung tahun sudah tiba. Pemerintah belum mampu memenuhi targetnya.
“Sejauh ini hambatannya di wilayah-wilayah sulit seperti bantaran sungai, pasang surut air, dan pesisir yang septic tank-nya memerlukan pendekatan Teknologi Tepat Guna,” jawab Imran Agus Nurali, Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan lewat pesan tertulis pada Independen.id (22/11/2019).
Ia mengimbau pimpinan masing-masing daerah kabupaten dan kota juga harus menjadikan akses sanitasi 100 persen menjadi target pencapaian yang ditangani secara serius. Ini juga sebagai bentuk pendekatan intervensi sensitif dalam pencegahan dan pengendalian stunting.
“Perlu diingat, Kemenkes sebagai leading sector tidak bisa bekerja sendiri. Harus bekerja sama,” ujarnya.
Pengalaman berbagai negara MDGs menunjukkan sanitasi termasuk sektor yang sangat sulit merangkak mencapai target global maupun nasional. Penyebabnya, sinergi dan kolaborasi antarlembaga berkepentingan. Kedua hal tersebut adalah tantangan sekaligus kunci penting dalam percepatan akses sanitasi layak di Indonesia.
“Dalam keduanya, komunikasi jadi unsur yang vital,” ucap Wiwit Heris Mandari, Direktur SPEAK Indonesia melalui telepon pada Independen.id (23/11/2019).
Komunikasi yang tidak terbangun menjadi persoalan tersendiri dalam penanganan sanitasi. Padahal, komunikasi terjadi di seluruh tahapan seperti pengambilan keputusan, promosi, kampanye publik, pengembangan komunitas dan pemberdayaan masyarakat. Sebab itu, kelancaran komunikasi menjadi tuntutan tak terelakkan.
Ini menjadi perhatian khusus SPEAK Indonesia. SPEAK (Strategi Pengkajian Edukasi Alternatif Komunikasi) Indonesia adalah lembaga yang memberi perhatian khusus terhadap peningkatan kapasitas bagi institusi dan masyarakat melalui strategi komunikasi dan advokasi yang memberdayakan di wilayah pendampingan yang tersebar di Indonesia. Selama lebih satu dekade berkiprah di Indonesia, SPEAK Indonesia mendukung pencapaian target pembangunan air minum dan sanitasi. Sejauh ini, SPEAK Indonesia telah mendampingi lebih dari 80 daerah dampingan yang fokus di sanitasi dan air dan program sanitasi sekolah.
Pada 2012, SPEAK Indonesia bersama Bappenas ikut membentuk jejaring AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan/sanitasi). Jejaring AMPL adalah sebuah forum komunikasi dan sinergi antara pemerintah pusat/daerah, pihak swasta, lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya.
“Dari pengalaman kita, sinergi yang diharapkan cukup bagus itu ada di pemerintah dan swasta karena bujet dari pemerintah untuk sanitasi dan air tidak cukup sehingga sering terabaikan,” kata Wiwit.
Merujuk data Sekretariat Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman, kebutuhan investasi untuk mencapai akses universal 100 persen adalah Rp 273,7 triliun yang berasal dari dana APBN, APBD, partisipasi masyarakat dan pihak swasta.
Pihak swasta didorong membuat program tanggung jawab sosial perusahaan yang berkelanjutan dan sesuai dengan target daerah. Begitupun dengan pemerintah. Sinergi yang bagus, menurut Wiwit, harus lebih dahulu terbangun di pemerintah pusat.
Jejaring ini terbentuk dalam sebuah lembaga ad hoc bernama POKJA AMPL (Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) Nasional. POKJA AMPL menjadi wadah atau forum komunikasi dan koordinasi khusus antarlembaga pemerintah pusat/daerah terkait agar penyediaan air minum dan sanitasi layak berjalan dengan baik.
“Kalau tidak begitu, nanti akan terjadi overlapping. Kementerian ini punya proyek A, kementerian lain punya proyek B. Saling tumpang tindih,” tambahnya.
Kerja sama multisektor dan berjejaring sangat krusial jika ingin masalah sanitasi di Indonesia segera terselesaikan. Selain berdampak buruk pada kesehatan dan kualitas hidup warga, data Economic Impact of Sanitation in Indonesia menunjukkan bahwa jika sanitasi tetap buruk, secara ekonomi Indonesia akan merugi Rp 56 triliun setiap tahunnya. Sebuah nilai yang terlalu besar untuk ditanggung rakyat Indonesia.
Kabinet baru pemerintahan Jokowi-Amin diharapkan terus menjadikan air dan sanitasi sebagai prioritas pembangunan di Indonesia dan membuat kebijakan yang berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Sanitasi DKI Jakarta: PR yang Belum Tuntas
Pemerintah Indonesia punya program yang ambisius soal sanitasi. Dalam tujuan enam Sustainable Development Goals (SDGs), setiap negara diharapkan telah mampu mewujudkan 100 persen akses sanitasi (100 persen air minum, 0 persen permukiman kumuh dan 100 persen setop buang air besar sembarangan) untuk penduduknya per-2030 mendatang. Namun, dalam RPJMN 2015-2019, Indonesia meletakkan target pencapaian lebih awal yakni tahun 2019. Tahun yang segera berakhir. Target pemerintah jelas tidak tercapai.
Kegagalan capaian target ini bahkan terjadi di jantung tanah air, ibu kota DKI Jakarta. Awal Oktober lalu, terkuak pengalaman warga yang berada di RT 15 RW 07 Kelurahan Tanjung Duren Utara, Kecamatan Grogol Pertamburan, Jakarta, yang kesulitan buang air besar karena tidak punya jamban sehat. Mereka menggunakan WC umum dengan cara bergantian dan kotorannya langsung dialirkan ke sungai. Sebuah paradoks dari potret kemegahan ibu kota.
Seperti ditulis TIrto (7/9/2019), ketiadaan jamban sehat ini diketahui dan menjadi sorotan khusus media massa setelah Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat, Kristi Watini melakukan verifikasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (1/10/2019) lalu. Ia menyatakan bahwa ada sekitar 214 KK di empat RW di wilayah Tanjung Duren Utara yang buang air besar di sungai karena tidak punya jamban sehat.
“Kondisi terburuk paling banyak dialami warga di RT 15 RW 07,” ujar Kristi dikutip dari Antara, Sabtu (5/10/2019).
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pun angkat bicara. Menurutnya, masalah sanitasi di DKI Jakarta memang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) yang belum terselesaikan. Saat ini, penanganan masalah tersebut sedang dalam tahap pendataan oleh PKK.
“Dengan kita menggunakan pendataan bersama PKK, kita bisa mengidentifikasi sekarang kampung-kampung mana yang belum memiliki jamban yang lengkap,” ujar Anies kepada wartawan di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (5/10/2019), dikutip dari Detik.com.
Masalahnya, Jika warga terlalu lama dibiarkan tidak memiliki jamban sehat, maka lingkungan akan semakin tercemar. Selain itu, sanitasi buruk juga bisa menyebabkan masyarakat rentan terkena berbagai macam penyakit seperti tifus, diare kronik, dan stunting. Jamban sehat menjadi fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutus mata rantai penularan penyakit-penyakit ini.
“Kita bicara soal kesehatan individu, orang perorang. Memutus mata rantai penularan itu sifatnya urgent (penting-red),” kata dr. Fify Mulyani, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada Independen.id melalui pesan tertulis (23/11/2019).
Pemenuhan sarana akses sanitasi layak di DKI Jakarta, terutama di daerah yang belum terjamah, harus segera dilakukan karena berkaitan dengan kualitas hidup warga. Pencapaian sanitasi layak di ibu kota bisa menjadi contoh baik bagi daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Keseriusan pemerintah DKI Jakarta dalam menyelesaikan persoalan ini bisa dilihat dari anggaran yang diajukan dan program yang direncanakan/dikerjakan.
Dalam KUA-PPAS, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengajukan anggaran Rp 10 miliar untuk subsidi rehabilitasi septic tank milik warga. Anggaran akan dimasukkan ke dalam pos belanja subsidi atau public service obligation (PSO) PD PAL Jaya.
Selain itu, Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, yang berwenang mengatur sistem pengolahan air limbah, telah mengajukan anggaran dana sebesar Rp 166,2 miliar untuk pembangunan septic tank komunal. Rencananya, septic tank komunal ini akan dibangun untuk 30 lokasi di wilayah DKI Jakarta. Anggaran tersebut tertuang dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2020.
Pembentukan IPAL (instalasi pengolahan air limbah) komunal bisa jadi solusi sementara, tetapi juga harus memperhatikan mekanisme penyedotan berkala, kapasitas, dan juga status lahan.
“Dinas SDA sudah ajukan anggaran Rp 8 miliar biaya pembebasan lahan untuk pembangunan septic tank komunal-nya, karena ketersediaan lahan di sini jadi hambatan,” kata Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Juaini Yusuf, saat dihubungi Independen.id (22/11/2019).
Juaini juga menambahkan pembangunan septic tank komunal terutama diperuntukkan di kawasan pinggir kali yang padat penduduk agar mengurangi aktivitas pembuangan limbah domestik ke aliran sungai tersebut.
“Anggarannya sudah disetujui dengan catatan tidak di lahan RPTRA dan Dinas SDA setuju,” ucap Ida Mahmudah, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta melalui pesan tertulis pada Independen.id (22/11/2019).
Anggaran tersebut sudah masuk ke Badan Anggaran. Namun, jadwal rapat Badan Anggaran untuk menindaklanjuti hasil rapat KUA-PPAS belum ditentukan. Jika tidak ada hambatan, anggaran akan efektif digunakan tahun 2020 mendatang. Warga Grogol dan warga lain yang belum punya jamban sehat di DKI Jakarta terpaksa menunggu cukup lama untuk memperoleh akses sanitasi layak. Padahal, persoalan ini amat mendesak.
Belajar Bersih dari Wahyono dan Wiwik
“Saya dulu mikirnya ya gak apa-apa kalau kotoran kita disalurkan langsung ke kali.”
Begitu kenang Wahyono, pria kelahiran Pekalongan, warga RT 08/RW 10, Kelurahan Tebet Timur, Kecamatan Tebet, pada Independen.id di kediamannya (12/10/2019). Wahyono adalah produsen mesin pembuat dan pemotong tempe. Ia tinggal bersama istri, tiga orang anak, menantu beserta satu orang cucunya di sebuah rumah berukuran 65 meter persegi. Rumah yang telah ia dan keluarganya tempati sejak lebih dari 30 tahun lalu.
Untuk sampai ke kediaman Wahyono, Independen.id harus menyusuri sebuah gang sempit berukuran 2,5 meter yang hanya bisa dilewati satu kendaraan sepeda motor. Gang tersebut berdampingan dengan sebuah codetan. Warga setempat menamainya codetan Kalibata. Di sepanjang codetan tersebut, tampak kain jemuran warga yang berjejer, beberapa tanaman seperti serikaya, belimbing wuluh, pandan dan lidah buaya. Beberapa kali terdengar kicauan burung-burung peliharaan warga yang tergantung di dalam sangkar di pinggir codetan. Beberapa rumah tersambung dengan atap hingga ke pinggir kali sehingga membuat jalan yang dilewati terlihat lebih gelap tetapi juga lebih teduh.
Wahyono bercerita kalau dulu saluran pembuangan kotoran di rumahnya langsung dialirkan ke codetan Kalibata yang diketahui mengalir hingga ke sungai Ciliwung. Sebagai kepala keluarga, ia mengaku sama sekali tidak tahu kalau hal tersebut bisa berdampak pada keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar tempatnya tinggal.
“Ya dulu gak terlalu memperhatikan ya soal sakit-sakit itu, kalaupun sakit ya mikirnya itu alamiah saja,” ujarnya.
Namun kini, sejak mendapat penyuluhan tentang sanitasi dari puskesmas setempat pada awal 2019 lalu, Wahyono menyadari kekeliruannya.
“Sesudah ikut itu, saya ya merasa salah lah, kok saya buang ke kali? Padahal itu kan ada bakteri E. coli, bahaya buat anak-anak. Saya mikir kenapa gak dari dulu tahu ini?” tanya Wahyono retoris.
Seperti Wahyono, Sri Anggorowati juga merasakan hal yang sama. Perempuan yang akrab disapa Wiwik ini tinggal tak jauh dari rumah Wahyono. Wiwik adalah generasi kedua di keluarganya yang tinggal di daerah tersebut sejak tahun 1970-an. Ia bercerita dari dulu keluarganya tidak pernah tahu kalau mereka tak seharusnya menyalurkan pembuangan mereka langsung ke codetan yang ada di depan rumah.
“Setelah belajar, saya langsung bilang sama mamah, ‘Mah.. kita harus bikin septic tank’ dan mama langsung iya aja,” jawab Wiwik pada Independen.id (15/11/2019) ketika diminta menceritakan pengalamannya sebelum mengerti tentang sanitasi.
Kesadaran ini pula yang mendorong Wiwik untuk “menyuluh” para tetangganya. Ia bercerita kalau saat itu sempat ada beberapa warga yang merasa tidak perlu memiliki septic tank. Beberapa orang yang menolak tersebut berargumen kalau mereka sudah terbiasa dan tidak pernah sakit diare sejak dulu.
“Saya balas aja, ‘Ya mungkin bapak iya, tapi otomatis tanpa bapak sadari bapak sudah mencemari lingkungan dan bikin tetangga sakit’ ,” ujarnya tegas.
Masalah sanitasi bukan semata tentang ketersediaan infrastruktur tetapi juga sangat bergantung terhadap pola perilaku warga untuk hidup sehat dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Saat ini, masih ada warga yang menganggap bahwa menjaga kesehatan lingkungan bukanlah sebuah kebutuhan.
Wahyono dan Wiwik adalah contoh warga yang mengubah perilaku sanitasinya setelah mendapat intervensi program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di wilayah mereka. STBM adalah program pemerintah berupa pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. STBM menjadi acuan nasional untuk program sanitasi berbasis masyarakat sejak lahirnya Keputusan Menkes No.852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
Untuk mengontrol perilaku sanitasi total masyarakat, STBM berbasis pada 5 pilar yaitu: tidak BAB sembarangan, mencuci tangan pakai sabun, mengelola air minum dan makanan yang aman, mengelola sampah dengan benar, dan mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman.
STBM di RT 8 RW 10 Tebet Timur adalah salah satu daerah dampingan SPEAK Indonesia di DKI Jakarta selain Pademangan dan Duri Utara-Tambora. SPEAK Indonesia bekerja sama dengan puskesmas setempat dan pihak swasta melakukan intervensi program STBM di RT 8 RW 10 dengan membangun IPAL (instalasi pengolahan air limbah). IPAL yang dibangun terdiri dari 1 IPAL besar yang menampung 69 KK atau 179 jiwa dengan 6 bak kontrol dan 1 IPAL mini untuk menampung 11 KK atau 30 jiwa. Komponen IPAL Komunal terdiri dari unit pengolah limbah, jaringan perpipaan (bak kontrol dan lubang perawatan) dan sambungan rumah tangga. Untuk membangun IPAL tersebut, Wahyono dan Wiwik mengeluarkan biaya sebesar lima juta rupiah.
Program STBM bersifat nonsubsidi yang menyasar langsung ke tingkat rumah tangga dan berfokus pada perubahan perilaku.
Merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2019 Kementerian Kesehatan, prevalensi perilaku masyarakat buang air besar di jamban di Indonesia sudah meningkat ke angka 88,2% dibandingkan tahun 2013 yang mencapai angka 81%. Dari kategori wilayah, Provinsi DKI Jakarta berada di urutan tertinggi yakni 97,6% disusul Yogyakarta mencapai 96% dan Sulawesi Utara mencapai 95%. Urutan terendah yakni Papua hanya sebesar 59%.
“Kontributor terbesar dari penanganan sanitasi itu adalah masyarakat,” tegas Wiwik.
Peningkatan ini harus terus digenjot demi tercapainya akses sanitasi total yang layak di Indonesia.