Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di manapun adalah tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pertama. Kemiskinan adalah persoalan multidimensi.
Lebih dari sekadar tak punya uang, daftar panjang indikator menyertai problematika ini. Termasuk di dalamnya akses sanitasi layak.
Ketersedian air dan sanitasi sangat berhubungan dengan tingkat kemiskinan. Kedua hal tersebut merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus mampu disediakan pemerintah agar masyarakat lebih sejahtera.
Fasilitas sanitasi layak harus memenuhi syarat kesehatan. Antara lain kloset menggunakan leher angsa atau plengsengan dengan tutup, tempat pembuangan akhir tinja menggunakan tanki septik. Atau, Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL) dan fasilitas sanitasi tersebut digunakan oleh rumah tangga sendiri.
Pada 2017 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 74 persen populasi dunia (5,5 miliar orang) sudah bisa mengakses layanan sanitasi dasar. Namun, masih ada 2 miliar lain yang belum memiliki toilet atau jamban.
Sanitasi tak layak bisa berarti kondisi kesehatan buruk. “Minimnya akses air minum dan sanitasi, kini tak hanya berdampak pada kejadian diare, namun merambah ke yang lainnya, salah satunya menjadi penyebab stunting yang akan memengaruhi produktivitas dan berdampak pada peningkatan ekonomi,” kata Direktur Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nurali.
Menurut UNICEF, diare akibat sanitasi buruk merenggut nyawa sekitar 2 juta anak setiap tahun atau 5 ribu orang per hari. Itu belum termasuk yang dirawat karena sakit.
Sanitasi yang buruk menurut WHO juga mengurangi kesejahteraan manusia, perkembangan sosial dan ekonomi, bahkan hilangnya kesempatan pendidikan.
Tak heran jika dalam laporannya, World Bank mengungkap perbaikan atas akses air dan sanitasi saja sudah bisa meningkatkan kesejahteraan generasi penerus. Khusus di Indonesia terungkap dalam 1.000 hari pertama kelahiran, anak punya kecenderungan stunting jika hidup di tengah lingkungan yang marak perilaku BAB sembarangan.
Bagaimana akses sanitasi layak di Indonesia? Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2016-2019 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung pemenuhan hak dasar warga dalam hal sanitasi.
Perhitungannya difokuskan pada penduduk 40 persen terbawah, kelompok miskin dan rentan, juga termiskin. Sejak 2016 hingga 2019, jumlah rumah tangga 40 persen terbawah memang bertambah.
Namun, melihat persentase secara nasional trennya turun. Pada 2016, sebanyak 36 persen rumah tangga masuk kelompok ini. Tahun lalu, angka ini menjadi 35 persen.
Di Indonesia grafik jangkauan sanitasi layak terus menanjak. Jika pada 2016 hanya menjangkau 52 persen penduduk dengan pengeluaran terendah, pada 2019 sudah 66 persen yang kebutuhannya terpenuhi.
Tentu, belum saatnya berpuas diri sebagai bangsa. Terlebih tiap wilayah di Indonesia masih memiliki kabupaten dengan kelayakan sanitasi terburuk.
Kondisi miris terekam di Yahukimo, Papua. Dalam kurun 2016-2019 rumah tangga dengan pengeluaran terendah semakin banyak. Dari 17.500 rumah tangga, jumlahnya mencapai 24 ribu.
Sudah begitu, akses sanitasi layak di kabupaten ini juga turun. Dari 0,5 persen pada 2016 menjadi 0,4 persen rumah tangga miskin dan rentan, juga termiskin yang fasilitas sanitasinya memenuhi syarat kesehatan pada 2019.
Pada periode sama, rumah tangga berpengeluaran terendah di Barito Kuala, Kalimantan Selatan bertambah lebih dari 11 ribu. Pun demikian akses terhadap sanitasi layak di kabupaten ini juga meningkat di level 26 persen.
Sebaliknya terjadi di Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Selama 2016-2019 rumah tangga miskin dan rentan, juga termiskin bertambah banyak. Malang betul, akses sanitasi layak golongan ini merosot dari 45 persen pada 2016 ke level 39 persen pada 2019.
Menarik melihat bahwa di Bali, Kabupaten Buleleng yang memiliki tingkat akses sanitasi layak paling rendah di seantero Pulau Dewata sekalipun kondisinya membaik. Satu-satunya wilayah dengan cakupan sanitasi layak tertinggi (83 persen) di kalangan masyarakat penghasilan terendah.
Pemerintah Pusat dalam naungan Bappenas bersama lintas kementerian terkait telah menghitung target dengan Pemerintah Provinsi. Ada tiga target yang harus dicapai sesuai mandat RPJMN 2020-2024.
Pertama, target air limbah yaitu 90 persen akses sanitasi layak, termasuk 15 akses sanitasi aman. Kedua target 0 persen angka Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di Tempat Terbuka. Terakhir target persampahan yang meliputi 80 persen penanganan dan 20 persen pengurangan.
Skema pendampingan yang dilakukan pusat adalah fasilitasi berjenjang dari Pusat – Provinsi – Kab/Kota. “Dalam melaksanakan skema pendampingan tersebut, kami mengarahkan seluruh provinsi di indonesia melakukan fokus pendampingan pada 2 kab/kota per tahun,” papar Aldy Mardikanto, Staf Fungsional Perencana Madya, Subdit Sanitasi, Direktorat Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, Bappenas dalam kickoff Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP).
Sumber : https://lokadata.id/artikel/tekan-kemiskinan-dengan-sanitasi-layak